Selasa, 29 Juli 2008

Andy Achmad Calon Gubernur 'Tersandung' Pencabulan PRT

Kasus Pencabulan Cagub AAS dibawah Bayangan 86
POLISI SUDAH PANGGIL 7 SAKSI

Salah satu calon Gubernur Lampung yang diusung Partai Demokrat dan PBR, berinisial AAS nampaknya bakal “Kelimpungan”. Mantan Bupati ini, santer menjadi pembicaraan publik seputar kasus pencabulan yang dilakukan kepada pembantu rumah tangga (PRT) berinisial DE (19). Pada 29 Juni 2008 lalu DE warga Seputih Mataram Lampung Tengah melaporkan AAS ke Poltabes Bandar Lampung.
Berita prilaku amoral AAS sontak menggegerkan, tidak menyangka ternyata AAS berbuat senekat itu. Pihak Kepolisian tampaknya berhati-hati melakukan penanganan, meskipun sudah mengumpulkan saksi dan bukti-bukti, kasus tersebut hingga saat ini masih dalam tahap penyidikan dengan kata lain belum ditingkatkan pada tahap berikutnya. Termasuk juga memanggil AAS masih belum dijadwal.
Hal tersebut diungkapkan Kasat Reskrim Poltabes Bandar Lampung, Komisaris Polisi (Kompol) Namora LU Simanjuntak, SIK mendampingi Kapoltabes, Kombes Pol. Sauqie Ahmad. Kasat Reskrim Poltabes mengaku telah memanggil dan memeriksa 7 (tujuh) saksi. “Nama dan kapasitas saksi sementara ini belum dapat kami sebutkan karena untuk kepentingan penyidikan” terang Namora kepada On line, Jum’at (04/07) kemarin.
“Yang jelas dalam melakukan penyidikan kami akan lakukan seperti halnya kasus-kasus sejenis, tak akan membeda-bedakan” jaminnya.
Lebih lanjut Namora menerangkan, dari pengakuan korban DE, pencabulan yang dilakukan AA sebanyak 2 (dua) kali pada akhir tahun 2007 dan melaporkan perihal tersebut pada bulan Juni 2008.
“Meskipun usia DE sudah di atas 17 tahun, namun belum dapat dikatakan dewasa” beber Kasat Reskrim.
Menyikapi penyidikan polisi, berbagai elemen masyarakat menuntut pihak kepolisian bertindak tegas.
Ketua Parisada Hindu Propinsi Lampung Ir. Mede Suedja juga memberikan tanggapan terkait masalah tersebut. “Kita akan koordinasi dengan Kabupaten Lampung Tengah untuk menindak lanjuti masalah ini. Yang jelas, Parisada siap membantu apalagi berkenaan dengan ummat Hindu,” ungkapnya.
Tanggapan AAS yang menyatakan bahwa isu tersebut hanyalah nuansa politik juga dibantah dari sekretaris Wanita Hindu Lampung (WHL), Siti Maryam. Pihaknya mengaku tidak tinggal diam WHL akan menjadi fasilitator pengaduan bagi korban untuk mendapat keadilan.
Kadek Darsana, tokoh pemuda desa Darmaagung, Lampung Tengah. Korban DE merupakan kerabatnya yang juga sesama warga Lampung yang berasal dari Bali.
Ketika menjadi pejabat, Kadek Darsana mengaku menggagas memberikan Gelar kehormatan sebagai kesatria atau panutan bernama Anak Agung Dharma Wisesa kepada AAS.
Dengan kejadian ini mayoritas ummat Hindu asal Bali merasa kecewa dengan gelar kehormatan diberikan kepada AAS apalagi yang menjadi korban dari kerabatnya.
Menyinggung masalah ini sering dikaitkan nuansa politik Pemilihan Gubernur Lampung yang kian memanas. Kadek Darsana menepis anggapan itu. “Jangan kait-kaitkan antara politik dengan masalah ini, korban mengaku sempat disiksa hingga akhirnya dia tidak tahan dan kabur dari rumah AAS dan melaporkan perbuatan keji AAS tersebut. Oleh karena itu aparat kepolisian yang mempunyai kewajiban mengusut masalah ini, saya harap dalam menanganinya harus profesional jauhkan budaya 86 jika Polda Lampung benar-benar ingin dihargai rakyatnya” tegas Kadek.

Heri Ch Burmelli, Lampung

Kurang Ligat, Walikota Bandar Lampung Banyak Kasus

Walikota Bandar Lampung Konyol
Pagar Pembatas Jalan Diganti Iklan Rokok,
Hasil Otak Miring Menuai Kasus Tanah Miring

Konsep penataan Kota Bandar Lampung makin tidak berpola. Kebijakan Walikota, Eddy Sutrisno saling tumpang tindih, ibarat kata “Hari ini pasang, besok dicabut”. Tengok saja soal pagar pembatas Jalan Raden Intan depan Supermarket Ramayana. Begitu berkerasnya Pemkot menginginkan pagar pembatas jalan yang dianggarkan dalam APBD TA 2007. Maksudnya, menggiring masyarakat agar patuh memakai jembatan penyebrangan yang tersedia.
Apa yang terjadi kemudian?. Setelah tegak berdiri “seenak wudelnya” bak membalikan telapak tangan, Pemkot merobohkan pagar pembatas yang jelas-jelas menggunakan dana ratusan juta dari APBD itu. Untuk kemudian diganti dengan tiang-tiang advertising iklan rokok. Pagar pembatas pun hilang, jembatan penyebrangan seakan tinggal kenangan, kesemrawutan kota akibat penyebrang jalan pun kini terlihat.
Kesimpulannya, Walikota lebih berpihak pada iklan rokok yang merugikan kesehatan dari pada keselamatan pejalan kaki serta kesehatan warganya untuk naik tangga menyeberang jalan.
Sontak saja, muncul kontroversi akibat pembongkaran tersebut, bahkan Walikota sempat menyatakan “sumpah” kalau hal itu ia lakukan tidak ada unsur KKN. Alasan klasik lain pun muncul, kalau iklan rokok tersebut dapat menambah Penghasilan Asli Daerah (PAD). Tapi bagaimana dengan anggaran APBD pembangunan pembatas jalan?.. Artinya Walikota sudah menghambur-hamburkan uang rakyat.
Entah pola apa yang diterapkan Eddy Sutrisno dalam menata kota berjuluk ‘Tapis Berseri’. “Boleh saja pemasangan advertising iklan, tapi walikota juga harus pikirkan dampak dari ketidak seimbangan dalam menata kota” ujar Ichwan, aktivis anti korupsi di Lampung.
Ia juga menyesalkan atas pembongkaran pagar pembatas yang belum lama ini dibangun, padahal menurutnya itu dapat mencegah pejalan kaki lewat jalan raya, sehingga mereka akan menggunakan jembatan penyebrangan.

Kebijakan lain yang dinilai tak berpola yaitu masalah pembelian tanah miring untuk parkir kendaraan kantor Walikota, sempat menuai kontroversi dan kini telah dilidik oleh Kejaksaan Bandar Lampung. Pemkot Bandar Lampung membeli tanah miring senilai Rp3,7 miliar itu diperuntukkan bagi lahan parkir. Dana pembelian lahan tersebut diambil dari pos APBD murni tahun 2007.
Masalahnya, mata anggaran untuk pembelian lahan parkir itu tidak pernah ada. Sejumlah panitia anggaran (Panang) legislatif saat pembahasan anggaran APBD tahun 2007 tidak pernah melihat usulan pembelian lahan parkir tersebut. Anggaran serupa juga telah diajukan oleh Pemkot, pada tahun 2006 lalu senilai Rp1,6 miliar, tetapi ditolak oleh Panang legislatif. Panang Legislatif tahun 2006 lalu menolak usulan pembelian lahan tersebut karena harga tanah tersebut dinilai cukup mahal.
Sementara itu, Kejakssaan Negeri (Kejari) Kota Bandar Lampung diminta untuk membuka dan menindaklanjuti penyelidikan kasus pembelian tanah miring seluas 2.870 meter persegi senilai Rp3,7 miliar oleh Pemerintah Daerah Kota (Pemdakot) Bandar Lampung, yang penanganannya sempat mandek.
"Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandar Lampung yang menangani kasus dugaan korupsi pembelian tanah miring itu diminta untuk menidaklanjuti dan mengevaluasi, apakah unsur-unsur tindak pidana terpenuhi atau tidak," kata Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung, Thomson Siagian.
Ia menyebutkan, pihak Kejati Lampung melalui Asisten Intelijen telah memerintahkan Kejari Bandar Lampung melakukan penyelidikan kembali kasus tersebut dengan cara mengevaluasi dan mencari unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan itu telah terpenuhi cukup bukti atau tidak.
Selain itu penyelidikan kasus tersebut perlu pendalaman dengan melihat kemungkinan siapakah yang sebenarnya bertanggung jawab terhadap kasus itu.
Ia menambahkan, pihak Kejari Bandar Lampung dan Kejati Lampung belum melakukan ekspose bersama kasus itu karena masih melakukan pendalaman.
Ia mengakui pula bahwa kasus itu hingga sekarang belum dilakukan audit oleh BPKP Provinsi Lampung untuk menilai terdapat kerugian negara atau tidak.
Sebelumnya, Kejari Bandar Lampung telah melakukan penyelidikan kasus tanah miring itu sejak Bulan September 2007, namun hingga sekarang kasus tersebut mandeg.
Anggota Panang lain, Firmansyah, juga mengaku pihaknya pernah membahas anggaran pembelian tanah Pemkot tersebut. Menurut Firman, dalam DPA APBD memang tidak tertulis pembelian tanah miring untuk lahan parkir. Akan tetapi, pembelian tanah pemerintah daerah yang anggarannya Rp4,268 miliar.
"Sebagai manusia biasa, mungkin saja anggota Panang yang lain ada yang lupa. Yang pasti, anggaran pembelian tanah itu sudah dianggarkan dalam APBD tahun 2007 dan sudah dibahas," kata dia.
Banyak kalangan, menyesalkan mengapa Pihak Kejaksaan terlalu lamban melakukan tindakan hukum, alasannya terlalu mengada-ada.
Padahal bila ditilik, kenaikan harga NJOP di Jalan Pangeran Diponegoro (kontur fisik tanahnya curam) begitu fantastis. Menurut sumber anggota DPRD, tahun 2005, NJOP tanah miring tersebut hanya Rp537 ribu. Pada tahun 2006, saat pertama kali tanah itu akan dibeli Pemkot, NJOP naik menjadi Rp916 ribu.
"Tahun 2007, saat tanah itu akan dibeli, NJOP naik menjadi Rp1,147 juta per meter. Kami harus tahu, apakah NJOP yang ditetapkan Kantor Pelayanan PBB berlaku untuk kelas yang sama di Jalan Pangeran Diponegoro. Sebab, jika hanya tanah miring itu yang naik NJOP-nya, akan terjadi pelanggaran hukum," kata Rizualto anggota DPRD Kota dari PPP.
Biasanya, ujar Tito (panggilan akrab Rizualto), selisih kenaikan NJOP di Bandar Lampung tidak terlalu tinggi, antara Rp25 ribu dan Rp75 ribu. "Masyarakat pasti menjerit jika ada kenaikan NJOP lebih dari Rp50 ribu per meter. Untuk itu, kami harus cari tahu kenaikan NJOP tahun-tahun sebelumnya," pungkasnya

Heri Ch Burmelli, Lampung

Minggu, 27 Juli 2008


KEMBALIKAN HUTAN LAMPUNG PADA RAKYAT

LAMPUNG MINTA MENTERI KEHUTANAN TURUNKAN TIM
KEMBALIKAN KAWASAN HUTAN YANG DIPERGUNAKAN PERKEBUNAN SWASTA

Fenomena kawasan hutan yang bermasalah dan dikembalikan pada statusnya semula sebagai kawasan hutan. Merupakan komitmen pemerintah yang patut didukung rakyat. Sebagaimana diketahui, tidak sedikit kawasan hutan yang ternyata hanya dirampas oleh pengusaha untuk mengeruk keuntungan pribadi. Caranya dengan menjadikan berbagai kawasan hutan untuk dibuat perkebunan, melalui legalisasi HGU (Hak Guna Usaha) termasuk ‘merayu’ para Pejabat agar kawasan hutan bisa dipergunakan menjadi perkebunan mereka.
Menteri Kehutanan MS. Kaban diminta untuk serius mengembalikan kawasan hutan register yang kini sudah dikantongi oleh para pengusaha perkebunan di Lampung.
Jika hal ini tidak didukung, berdampak pada kelestarian lingkungan hidup di Provinsi ini yang kian rusak. Lebih ironis lagi kawasan hutan register yang telah di HGU itu ternyata tidak berdampak kepada kesejahteraan hidup para warga sekitar.
HM Hermansyah Kepala Badan Karantina Pertanian Panjang berharap hutan kawasan yang kini menjadi perkebunan swasta itu 70 persen dikembalikan kepada Rakyat. Hal ini demi kesejahteraan masyarakat sekitar yang kini mayoritas melarat dan kerja diluar propinsi Lampung. Dengan cara ini pengusaha dan rakyat saling mengisi sehingga harapan kekayaan alam bumi Indonesia dinikmati oleh rakyatnya secara merata dapat tercapai.
“Jangan seperti sekarang, warga sekitar perkebunan itu, seakan hidup dipadang pasir tandus dengan penguapan insektisida, pupuk serta pencemaran lingkungan yang begitu pekat,” beber Hermansyah
Selain itu, keterbelakangan dan kemiskinan terlihat sangat mencolok antara karyawan perkebunan dengan warga asli.
Hermansyah yang juga menjabat sebagai Ketua DPD Masyarakat Agro Industri (MAI) Lampung mengharapkan pemerintah dalam hal ini departemen Kehutanan dapat mengakaji ulang izin-izin kawasan hutan di Lampung.
Hasil penelusuran data-data online banyak ditemukan tukar menukar kawasan hutan yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan. Seperti Keputusan Menteri Kehutanan No 24/Kpts-II/1998 tentang pelepasan kawasan hutan Way terusan Register 47 di Lampung Utara seluas 11.880 hektar untuk perkebunan PT. Indo Lampung Perkasa. Oleh Menteri Kehutanan Djamaludin Suryohadikusumo pada 9 Januari 1998. Salinan SK tersebut, sesuai dengan aslinya dari Kepala Biro Hukum dan Organisasi, YB Widodo Sutoyo, SH. MM. Keputusan yang juga serupa pada SK Menhut No 26/Kpts-II/1998 bagi perkebunan PT. Indo Lampung Delta Permai seluas 28.408 hektar. Ditengarai masih banyak lagi HGU dan permohonan pelepasan kawasan hutan yang di ACC Menteri Kehutanan bagi para Pengelola Perkebunan Swasta seperti Indo Lampung Buana Makmur.
Faktanya, ternyata pelepasan ribuan hektar kawasan hutan bagi pengusaha perkebunan tersebut, tidak berdampak pada sektor ekonomi rakyat kecil. Daerah Lampung masih mendapat kategori sebagai Propinsi Termiskin di Sumatera setelah Aceh. Padahal pengusaha kakap banyak mendulang rupiah disini. Contoh kasus Samsul Nur Salim di CPB Bratasena, yang akhirnya menjadikan pengusaha Lampung Arthalita Suryani (Ayin) tertangkap basah ‘menyuap’ Jaksa Tri Gunawan. Tidak sedikit juga yang menjadi kasus BLBI, seperti tarik menarik di Pengadilan antara Garuda Panca Artha dengan perusahaan Jepang Marubeni. Singkat kata tanah di Lampung masuk bursa efek Jakarta, pengusahanya bisa membeli rumah di singapura bahkan di Monaco dan America. Berlibur ke Paris hingga New zeland.
Sementara rakyat sekitar perkebunan tempat mereka mendapat ‘manisnya gula’ tinggal memiliki sepetak lahan yang tandus. Paceklik menjadi agenda tahunan untuk makan nasi aking berjamaah. Tidak tahan dengan kondisi itu rakyat sekitar perkebunan merantau menjadi buruh pabrik di Jawa, terbang keluar negeri menjadi TKI bahkan tak sedikit yang menjadi pelacur jalanan.
Bagi mereka perkebunan swasta yang telah menebas hutan register 47 tersebut, telah merusak habitat satwa dan tumbuhan, lebih dari itu termasuk telah mematikan hidup rakyat kecil dan budaya masyarakat. Pelepasan kawasan hutan berlegalisasi HGU adalah petaka bagi rakyat dan Negara.

Heri Ch Burmelli
Lampung