Jumat, 05 Desember 2008

Ketua LIPI Lampung Ngobyek Seperti Pencuri Pasir

Ketua LIPI Lampung Ngobyek Pasir Besi
Cara Kerjanya seperti ’Pencuri’ Penuh Rahasia

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dikenal sebagai wadah bagi para peneliti. Tidak heran bila asumsi publik kemudian menyamakannya tempat berkumpulnya para pemikir cerdik cendikia. Tapi, di Lampung lembaga ini ternyata ‘ngobyek’ menjual nama besar LIPI.
Kegiatan profit oriented tersebut berupa penjualan pasir besi bernilai miliaran rupiah. Nah, celakanya - ditengarai hasil penjualan belasan ribu ton itu menjadi obyekkan pribadi oknum pimpinan. Dari cara kerjanya seperti ‘pencuri’ penuh rahasia alias tidak ingin diketahui publik. Padahal, UPT Balai Pengolahan Mineral Lampung yang bernaung di LIPI ini adalah Lembaga resmi milik pemerintah.
Aktivitas tersebut dibenarkan oleh beberapa karyawan yang berkantor di Jl. Ir. Sutami, Tanjungbintang, Lampung Selatan itu. Menurut mereka nyaris setengah tahun terakhir telah berlangsung proses pengolahan pasir besi di tempat tersebut. Pekerjaan itu disebut-sebut turut melibatkan pihak luar. “Namanya Nanang, dia pemilik alat pencuci untuk memisahkan pasir besi,” terang seorang karyawan.
Ketika ditelusur lebih lanjut, pada areal bagian belakang komplek perkantoran LIPI, memang masih kentara bekas-bekas pengurukan tanah. Hanya saja dari luar tidak akan terlihat, lantaran lokasinya dikelilingi tembok tinggi. Anehnya, pada satu bagian pagar belakang terdapat bobolan tembok yang cukup menganga. Tapi kini sudah ditutup kembali oleh tumpukan papan. “Ya truk pengangkutnya lewat situ, kalau lewat pintu utama terlihat mencolok,” terang karyawan tadi LIPI yang meminta namanya dirahasiakan.
Sementara menurut keterangan pegawai lain, pasir besi yang dihasilkan kemudian dijual ke pabrik semen Batu Raja. Kontrak penjualannya mengatasnamakan koperasi karyawan LIPI.
Kepala kantor UPT Balai Pengolahan Mineral Lampung Ir. Adil Jamali M.Sc, tidak menampik fakta tersebut, namun enggan menjelaskannya lebih lanjut dengan alasan semua sudah sesuai prosedur. “Kami sudah mengantongi ijin dari LIPI Pusat,” pungkasnya.
Secara singkat Adil memaparkan bahwa pasir besi yang dijual merupakan hasil limbah dari hasil penelitian. Limbah tanah itu sudah berumur 20 tahun. Jumlahnya relatif besar dan selama ini dibiarkan terhampar pada areal belakang kantor. “Baru sekarang diolah, itu pun kami lakukan atas masukan dari Saudara Nanang,” katanya.
Diceritakan oleh Adil bahwa gagasan pemanfaatan limbah berasal dari masukan Nanang. Pria yang dikenal cukup berpengalaman dalam dunia pertambangan itu, ternyata mengetahui bahwa tumpukan limbah LIPI dapat menghasilkan pasir besi setelah melalui proses pengolahan tertentu. Oleh karenanya ia kemudian diikutkan dalam pelaksanaan proyek tersebut.
Sayangnya, Adil tidak berkenan menjelaskan berapa jumlah pasir besi yang sudah dihasilkan, serta berapa banyak lagi potensi yang masih tersisa. Ia pun enggan menyebut angka yang diraup melalui penjualan ke Batu Raja. Ketika ditanya apakah pengolahan hasil tambang tadi telah memberi kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Lampung melalui pembayaran pajak, ia berdalih seraya mengatakan bahwa kegiatan ini telah memberi kontribusi dengan merekrut tenaga kerja dari warga sekitar.
“Tapi kalau ke Dirjen Keuangan kita sudah mengurusnya, dan pendapat itu dimasukkan sebagai penerimaan negara bukan pajak,” terang Adil. Lagi-lagi ia tutup mulut mengenai besaran jumlah yang telah disetorkan. Namun, setelah memaparkan semua itu, pada bagian akhir pertemuan dengan online FPRM , Adil membuat pernyataan yang cukup membingungkan. Adil mengaku hingga sekarang ia belum tahu pasti apakah upaya pengolahan pasir besi ini menghasilkan untung atau tidak. “Kita belum menghitungnya,” ujarnya singkat. Jika benar kenyataannya demikian, terlalu naif bagi seorang pimpinan lembaga penelitian selevelnya lalai melakukan perhitungan matang sebelum bertindak. Apalagi yang dikelola notabene merupakan aset negara.

Heri Ch Burmeli, Lampung