Selasa, 29 Juli 2008

Kurang Ligat, Walikota Bandar Lampung Banyak Kasus

Walikota Bandar Lampung Konyol
Pagar Pembatas Jalan Diganti Iklan Rokok,
Hasil Otak Miring Menuai Kasus Tanah Miring

Konsep penataan Kota Bandar Lampung makin tidak berpola. Kebijakan Walikota, Eddy Sutrisno saling tumpang tindih, ibarat kata “Hari ini pasang, besok dicabut”. Tengok saja soal pagar pembatas Jalan Raden Intan depan Supermarket Ramayana. Begitu berkerasnya Pemkot menginginkan pagar pembatas jalan yang dianggarkan dalam APBD TA 2007. Maksudnya, menggiring masyarakat agar patuh memakai jembatan penyebrangan yang tersedia.
Apa yang terjadi kemudian?. Setelah tegak berdiri “seenak wudelnya” bak membalikan telapak tangan, Pemkot merobohkan pagar pembatas yang jelas-jelas menggunakan dana ratusan juta dari APBD itu. Untuk kemudian diganti dengan tiang-tiang advertising iklan rokok. Pagar pembatas pun hilang, jembatan penyebrangan seakan tinggal kenangan, kesemrawutan kota akibat penyebrang jalan pun kini terlihat.
Kesimpulannya, Walikota lebih berpihak pada iklan rokok yang merugikan kesehatan dari pada keselamatan pejalan kaki serta kesehatan warganya untuk naik tangga menyeberang jalan.
Sontak saja, muncul kontroversi akibat pembongkaran tersebut, bahkan Walikota sempat menyatakan “sumpah” kalau hal itu ia lakukan tidak ada unsur KKN. Alasan klasik lain pun muncul, kalau iklan rokok tersebut dapat menambah Penghasilan Asli Daerah (PAD). Tapi bagaimana dengan anggaran APBD pembangunan pembatas jalan?.. Artinya Walikota sudah menghambur-hamburkan uang rakyat.
Entah pola apa yang diterapkan Eddy Sutrisno dalam menata kota berjuluk ‘Tapis Berseri’. “Boleh saja pemasangan advertising iklan, tapi walikota juga harus pikirkan dampak dari ketidak seimbangan dalam menata kota” ujar Ichwan, aktivis anti korupsi di Lampung.
Ia juga menyesalkan atas pembongkaran pagar pembatas yang belum lama ini dibangun, padahal menurutnya itu dapat mencegah pejalan kaki lewat jalan raya, sehingga mereka akan menggunakan jembatan penyebrangan.

Kebijakan lain yang dinilai tak berpola yaitu masalah pembelian tanah miring untuk parkir kendaraan kantor Walikota, sempat menuai kontroversi dan kini telah dilidik oleh Kejaksaan Bandar Lampung. Pemkot Bandar Lampung membeli tanah miring senilai Rp3,7 miliar itu diperuntukkan bagi lahan parkir. Dana pembelian lahan tersebut diambil dari pos APBD murni tahun 2007.
Masalahnya, mata anggaran untuk pembelian lahan parkir itu tidak pernah ada. Sejumlah panitia anggaran (Panang) legislatif saat pembahasan anggaran APBD tahun 2007 tidak pernah melihat usulan pembelian lahan parkir tersebut. Anggaran serupa juga telah diajukan oleh Pemkot, pada tahun 2006 lalu senilai Rp1,6 miliar, tetapi ditolak oleh Panang legislatif. Panang Legislatif tahun 2006 lalu menolak usulan pembelian lahan tersebut karena harga tanah tersebut dinilai cukup mahal.
Sementara itu, Kejakssaan Negeri (Kejari) Kota Bandar Lampung diminta untuk membuka dan menindaklanjuti penyelidikan kasus pembelian tanah miring seluas 2.870 meter persegi senilai Rp3,7 miliar oleh Pemerintah Daerah Kota (Pemdakot) Bandar Lampung, yang penanganannya sempat mandek.
"Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandar Lampung yang menangani kasus dugaan korupsi pembelian tanah miring itu diminta untuk menidaklanjuti dan mengevaluasi, apakah unsur-unsur tindak pidana terpenuhi atau tidak," kata Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung, Thomson Siagian.
Ia menyebutkan, pihak Kejati Lampung melalui Asisten Intelijen telah memerintahkan Kejari Bandar Lampung melakukan penyelidikan kembali kasus tersebut dengan cara mengevaluasi dan mencari unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan itu telah terpenuhi cukup bukti atau tidak.
Selain itu penyelidikan kasus tersebut perlu pendalaman dengan melihat kemungkinan siapakah yang sebenarnya bertanggung jawab terhadap kasus itu.
Ia menambahkan, pihak Kejari Bandar Lampung dan Kejati Lampung belum melakukan ekspose bersama kasus itu karena masih melakukan pendalaman.
Ia mengakui pula bahwa kasus itu hingga sekarang belum dilakukan audit oleh BPKP Provinsi Lampung untuk menilai terdapat kerugian negara atau tidak.
Sebelumnya, Kejari Bandar Lampung telah melakukan penyelidikan kasus tanah miring itu sejak Bulan September 2007, namun hingga sekarang kasus tersebut mandeg.
Anggota Panang lain, Firmansyah, juga mengaku pihaknya pernah membahas anggaran pembelian tanah Pemkot tersebut. Menurut Firman, dalam DPA APBD memang tidak tertulis pembelian tanah miring untuk lahan parkir. Akan tetapi, pembelian tanah pemerintah daerah yang anggarannya Rp4,268 miliar.
"Sebagai manusia biasa, mungkin saja anggota Panang yang lain ada yang lupa. Yang pasti, anggaran pembelian tanah itu sudah dianggarkan dalam APBD tahun 2007 dan sudah dibahas," kata dia.
Banyak kalangan, menyesalkan mengapa Pihak Kejaksaan terlalu lamban melakukan tindakan hukum, alasannya terlalu mengada-ada.
Padahal bila ditilik, kenaikan harga NJOP di Jalan Pangeran Diponegoro (kontur fisik tanahnya curam) begitu fantastis. Menurut sumber anggota DPRD, tahun 2005, NJOP tanah miring tersebut hanya Rp537 ribu. Pada tahun 2006, saat pertama kali tanah itu akan dibeli Pemkot, NJOP naik menjadi Rp916 ribu.
"Tahun 2007, saat tanah itu akan dibeli, NJOP naik menjadi Rp1,147 juta per meter. Kami harus tahu, apakah NJOP yang ditetapkan Kantor Pelayanan PBB berlaku untuk kelas yang sama di Jalan Pangeran Diponegoro. Sebab, jika hanya tanah miring itu yang naik NJOP-nya, akan terjadi pelanggaran hukum," kata Rizualto anggota DPRD Kota dari PPP.
Biasanya, ujar Tito (panggilan akrab Rizualto), selisih kenaikan NJOP di Bandar Lampung tidak terlalu tinggi, antara Rp25 ribu dan Rp75 ribu. "Masyarakat pasti menjerit jika ada kenaikan NJOP lebih dari Rp50 ribu per meter. Untuk itu, kami harus cari tahu kenaikan NJOP tahun-tahun sebelumnya," pungkasnya

Heri Ch Burmelli, Lampung

Tidak ada komentar: