Rabu, 08 Juni 2022

Masjid Al Bakrie Membeli Romantisme masa lalu

Di era kemajuan Millenium saat ini, terjadi banyak perubahan yang maha dahsyat baik itu dari sisi gaya hidup dan berbagai fasilitas telekomunikasi yang tersedia. Meskipun eksistensi juga tata nilai sudah banyak berubah. Ternyata kehidupan yang terus bergulir, menimbulkan romantisme masa lalu.

Salah satu yang kita bisa lihat dari mobilitas masa lalu adalah romantisme pulang kampung atau mudik. Berjuta-juta warga Indonesia, pemeluk agama Islam. Pada saat datangnya hari lebaran mereka berduyun-duyun pulang ke kampung masing-masing untuk menemui sanak keluarga di kampung berkumpul membawa anak istri dan keluarga. Moda transportasi pun berjuta macam ragam kendaraan baik kendaraan roda dua hingga roda empat. Dampaknya sungguh luar biasa, kemacetan di mana-mana. Pertumbuhan ekonomi untuk sementara masuk ke desa. Para pemudik membelanjakan hartanya di daerah asal mereka. Bersukaria bersama sanak family kampung di mana mereka pernah bercengkrama. Itulah romantisme itulah mimpi yang selama ini belum terbeli.

Romantisme masa lalu itu membawa dampak yang luar biasa terhadap daerah. Apabila pemerintah daerah juga merespon cita rasa romantisme masa lalu dari putra-putra daerah yang berhasil sukses luar sana.

Hari-hari ini publik Lampung diwarnai dengan sedikit pro dan kontra akan adanya pembangunan masjid..........
Tentunya ini sebuah kabar yang baik. Putra-putra daerah Lampung yang sukses dan berhasil di luar sana, sudah mulai melirik untuk pulang kandang bersama membawa romantisme romantisme masa lalunya di daerah asal. 

Seiring berjalan usia hati Sanubari seorang Aburizal Bakri tergerak membangun sebuah karya monumental di sebuah wilayah yang juga sangat berkesan. Wilayah itu bernama lapangan Enggal.
Banyak yang setuju atas ide gagasan Pembangunan Masjid Al Bakrie yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Lampung tertanggal 28 Februari 2020. Adapun isi surat tersebut menginformasikan bahwa Yayasan Bakrie Amanah berencana akan membangun masjid yang termegah di Provinsi Lampung sebagai fungsi tempat ibadah dan pengembangan budaya Islam bertempat di Kecamatan Enggal Kota Bandar Lampung, yang saat ini lokasi tersebut telah ada Gelanggang Olahraga (GOR) Saburai dan Taman Gajah (elephant Park). 

Meski demikian tidak sedikit pihak yang menentang atau keberatan dengan rencana tersebut. Meskipun. Saya ikut mempelajarinya, ternyata keberatan warga itu bermuara kepada romantisme masa lalu juga..... Beberapa suara yang kurang setuju tersebut, dengan alasan terbangunnya Masjid Al Bakrie dikhawatirkan menghilangkan romantis masa lalu bahwa lapangan Enggal begitu berkesan bagi warga kota Bandar Lampung. Gelanggang Olahraga Saburai, Pasar Seni  dan Taman Gajah (Elephant Park) merupakan space public atau icon public yang memiliki riwayat dan cerita panjang bagi tiap generasi yang ada di Bandar Lampung. 

Pertentangan lain, Mengapa Masjid Al Bakrie harus dibangun di Enggal yang penuh sejarah bukan di tempat lain yang juga yang memberikan multy efek terciptanya wilayah  keramaian baru. Karena Enggal sudah begitu padat dan sudah ramai. 

Misalkan Masjid Megah gagasan dan keinginan Aburizal Bakrie ini dibangun di
Sukaraja misalnya, di pinggir pantai Teluk Lampung tentu mungkin akan lebih eksotis dan membuat sebuah suasana baru untuk dikunjungi. 

Dalam sebuah kesempatan Gubernur Lampung Pak Arinal Djunaidi sangat mengapresiasi keinginan dari tokoh nasional Aburizal Bakrie yang merupakan Putra Lampung untuk membangun sebuah masjid yang sangat megah di wilayah yang begitu keren di lapangan Enggal. Kembali kepada romantisme masa lalu yang harus dibeli oleh Aburizal Bakrie sebagai putra daerah Lampung dan pemilik Bakrie Brothers yang ternama. 
Tidak mudah meyakinkan 'kembali membangun' kampung halaman. Itu, ringkas Pak Gubernur ber 'Jaya' ini.

Owner berbagai perusahaan multinasional itu, Ternyata tak kuasa untuk menahan  kembali pulang ke Lampung untuk membayar romantisme masa lalu dari Ahmad Bakrie asal Ayahanda beliau yang merupakan suku Lampung tulen. Tabikpuuun.








Jurus 'Dewa Mabuk' Gubernur Lampung



GUBERNUR ‘ GAYA KOBOY’ PROPINSI LAMPUNG
ROLLING PEJABAT BESAR-BESARAN
KANGKANGI PERATURAN PEMERINTAH


Entah apa yang ada dibenak Syamsurya Ryacudu. Sejak dilantik oleh Mendagri Mardiyanto sebagai Gubernur Lampung, menggantikan Sjachroedin ZP yang ‘turun gelanggang’ untuk mencalonkan kembali.
Syamsurya Ryacudu yang sebelumnya menjabat Wakil Gubernur, langsung bikin gebrakan rolling pejabat besar-besaran. Seakan menyimpan dendam, pada Kepala Dinas dan pejabat yang kurang ‘menghargai’ nya saat menjadi Wagub. Dalam waktu kurang dari 10 hari mulai ‘dibantai’ dengan istilah mutasi, diberhentikan bahkan tak sedikit yang di non job kan.
Dalam kurun waktu satu bulan, Sejak 2 juli 2008 hingga saat ini. Syamsurya Ryacudu telah melakukan rolling sebanyak 3 kali.
Pertama, Senin tanggal 7 Juli 2008, Syamsurya Ryacudu memindahkan posisi 8 pejabat, memensiunkan 4 pejabat sekaligus menon job kan 4 eselon II.
Kedua, Jum’at tanggal 18 Juli 2008, menon job kan 13 pejabat eselon II sekaligus melantik 32 pejabat pada beberapa dinas.
Ketiga, Syamsurya Ryacudu merolling 48 pejabat eselon II, III dan IV.
Dalam beberapa kesempatan Syamsurya Ryacudu, kerap mengatakan akan menghabiskan ‘orang-orang’ Gubernur sebelumnya. Benar tidaknya sinyalemen tersebut. Dijawab dengan kenyataan dilapangan.
Ironisnya, tidak sedikit para pejabat dari daerah salah satu Incumbent utamannya Lampung Selatan yang masuk ke Provinsi. Menjadi pertanyaan banyak pihak, adanya eksodus pejabat dari Kabupaten tersebut. Oleh karenanya beberapa pengamat mengatakan bahwa selain untuk memutus mata rantai Sjachroedin ZP yang ikut dalam pertarungan Pilgub. Syamsurya sebagai Gubernur juga menjadi ‘pemain’ bagi salah satu pasangan calon pada Pemilihan Gubernur Lampung.
Celakanya, menurut Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Depdagri Saut Situmorang mengakui bahwa kebijakan mutasi pegawai yang dilakukan Syamsurya belum pernah dikonsultasikan kepada Mendagri. Menurutnya, mutasi pejabat hanya dapat dilakukan gubernur atas persetujuan Mendagri, Gubernur pengganti tidak boleh melakukan hal-hal yang bersifat fundamental dan radikal.
Pernyataan Kapuspen Depdagri sesuai dengan PP 49/2008 dan Perubahan Ketiga PP 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam pasal 132 ayat 1 PP itu disebutkan bahwa kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri untuk mencalonkan gubernur tidak diperkenankan memutasi pegawai atau membatalkan perizinan, yang bertentangan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya.
Prilaku Syamsurya Ryacudu yang mengangkangi Peraturan Pemerintah No 49/2008 jelas-jelas merupakan kesalahan mendasar yang tidak termaafkan. Selain telah mengganggu roda pemerintahan provinsi Lampung – juga merusak sistem kepegawaian secara umum.
Karenanya, bila melihat sepak terjang Syamsurya, justru memperlihatkan arogansi seorang penguasa dan para pejabat diibaratkan hanya sebagai patung yang tidak memiliki posisi tawar sama sekali. Penilaian dan pembinaan pejabat hanya didasarkan pada like and dislike bukan karena prestasi kerja.
Kondisi ini bukan mutlak kesalahan Syamsurya Ryacudu sepenuhnya, Sekda Propinsi Lampung Irham Djafar Lan Putera yang juga sebagai Ketua Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan) juga menjadi pihak yang paling bertanggung jawab. Bagaimanapun Irham Djafar Lan Putera mempunyai andil ‘pengkajian’ atas pejabat-pejabat yang ditempatkan sebelumnya. Bukan lalu menjadi tukang stempel maunya Gubernur. Hal ini memperlihatkan tidak bisa menjadi dinamisator dan katalisator birokrat Lampung menyikapi ‘ambisi’Gubernurnya, termasuk memperlihatkan kualitasnya yang tidak ‘PAS’ untuk jabatan seorang birokrat nomor wahid di Propinsi Lampung.
Fungsi Sekda yang juga Ketua Baperjakat, selayaknya bukan ABS (Asal Bapak Senang) – Ketika Gubernur terdahulu menjabat pakai si A – Gubernur hari ini menjabat pakai si B buang si A dan Besok dengan Gubernur yang lain pakai si C buang yang B.
Oleh karenanya Mendagri harus mengambil sikap tegas atas, semua kesewenang-wenangan pejabat. Bila tidak, birokrasinya bukan melayani rakyat, tapi terdidik menjadi para penjilat atasan.

Heri Ch Burmelli, Lampung